Indonesia
merupakan negeri dengan jumlah penduduk bermayoritaskan Islam terbanyak pertama
di dunia. Realitas faktual ini tidak bisa dimungkiri lagi. Dari seluruh
penduduk yang menghuni negeri ini, sekitar 90-an% beragama Islam, sedangkan
sisanya dibagi ke dalam beberapa agama besar lainnya, seperti Kristen, Hindu,
Buddha Konghucu, serta keyakinan dan aliran kepercayaan lain dengan porsentase
yang jauh di bawah lima persen.
Lebih
jauh menilik negeri ini, tampak juga bahwa Indonesia adalah negeri dengan
tingkat pluralitas yang tinggi. Pluralisme agama, budaya, tradisi, bahasa,
ideologi suku, dan filosofi yang dimiliki oleh segenap manusia Indonesia merupakan
realitas yang tak terelakan lagi. Namun di sisi lain, secara eviden kita bisa
membaca bahwa dalam keberagaman itu Indonesia menyimpan sebuah “mutiara yang
terpendam”, negeri yang kaya-raya, karena mengandung, selain kekayaan
alam-bumi, dari rahim pertiwi ini lahirlah manusia-manusia yang mampu
memengaruhi dunia, yang wawasan dan derajat intelektualitasnya patut diacungi.
Indonesia juga adalah sebuah realitas di mana manusia-manusianya amat menjaga
tradisi ketimuran, menjunjung tinggi semangat nasionalisme dan demokrasi.
Realitas
kemajemukan itupun begitu gamblang tampil dan merambah dalam berbagai pentas sosial
dan politik. Di sana argumentasi-argumentasi terus diperdebatkan tanpa akhir
yang pasti. Misalkan saja isu mengenai negara Islam yang sejak awal kemerdekaan
mulai diproklamasikan oleh beberapa tokoh radikal Islam. Dan sejauh ini, isu
itu hanya menemui jalan terjal. Sebab bahkan di kalangan Islam moderat sendiri,
ide tentang berdirinya negara Islam ditentang karena tidak relevan dengan
konteks pluralitas di Indonesia. Sebagai konsekuensi logisnya, isu pertautan
dan intervensi agama dalam politik terus membengkak di mana-mana, mulai dari
lokal sampai pada skala nasional.
Sejarah mencatat bahwa
sistem sosial-politik (demokrasi) yang dianut Indonesia, sejauh ini, masih
sangat kentara dinahkodai oleh berbagai kepentingan macam-macam: agama, suku,
ideologi kelompok tertentu, budaya, dll. Tidak jarang terjadi di berbagai
pelosok negeri “seribu khayangan” ini, realitas kekerasan, ancaman, pertikaian,
dan penganiayaan atas nama kepentingan-kepentingan seperti telah tersebut di
atas, terutama agama. Tentu masih hangat dalam memori kita, kisruh kronis
antara Basuki Cahaya Purnama (Ahok)
berhadapan dengan Front Pembela Islam (FPI) akhir-akhir ini. Melalui
pemberitaan media massa, baik media cetak, elektronik, maupun digital, konflik
bermotifkan agama ini bahkan menjadi trending
topic. Begitu getolnya media massa meramaikan publik Indonesia dengan
informasi aktualnya, sampai-sampai mereka melupakan kode etik jurnalistik yang
menekankan objektivitas pemberitaan, dan bukan pemenuhan dahaga massa (baca:
pasar) atau profit. Sejuk.com, sebuah
LSM yang peduli akan kekayaan keberagaman Indonesia, mencoba mengangkat tema workshop-nya kali ini: “Tantangan Media
Massa dalam Kasus Intoleransi”. Sebuah pertanyaan muncul: apakah prospek
media-media di Indonesia saat ini bernaung di bawah kecenderungan
fundamentalisme agama dan tradisi serta
dominasi budaya mayoritas tertentu?
“Langit Buram” Kisruh Agamis Ahok vs
FPI
Menelisik polemik berkepanjangan
antara Ahok dan FPI sebagaimana terjadi hampir setahun terakhir, bumi Indonesia
seperti ikut bergeming, karena, selain memang “perang dingin” itu merusak citra
langit politik Indonesia, persoalan itupun bisa melahirkan guncangan hebat bagi
rasa solidaritas dan toleransi antar agama yang begitu majemuk. Selain itu,
kasus ini bisa berujung pada ketegangan dan sentimen primordial SARA serta
ketakutan akut kaum minoritas di negeri ini. Inilah tesis dasar penulis ketika
membaca kasus yang menimpa Ahok. Bahwa Ahok, tokoh politik berwawasan nasionalisme,
yang merupakan penganut setia agama Kristen (Protestan), menjadi bulan-bulanan
FPI, yang merupakan sebuah kelompok gerakan Islam sayap kiri. Ia dicerca,
dihina, diteror dan dikecam bukan karena latar politik yang diperankannya,
tetapi lebih karena status agama (non-Islam) yang dianutnya. Memang sejak
dahulu sekali, konflik bermotifkan agama telah membumi di Indonesia. Namun
dalam kasus Ahok, narasi itu seakan terungkit lagi, dan bahkan lebih kejam dari
yang pernah dipikirkan. Bisa dibayangkan bagaimana Ahok, seorang diri,
membendung hadangan keras dari FPI, termasuk juga beberapa anggota DPRD DKI
Jakarta. Tekanan berwajah ganda: muatan politis dan agamis sekaligus, oleh
Ahok, hanya dibalas dengan ketaatan kepada sebuah “Hukum” yang melampaui norma lahiriah
yang ada.
Apakah memang kaum minoritas tidak
bisa memimpin bangsa ini? Itulah pertanyaan substansial yang dilontarkan
segelintir golongan “minoritas bisu” di negeri ini ketika dibentangkan sebuah
poster keburaman citra politik dan meredupnya semangat nasionalisme oleh para
mayoritas elit.
Pengangkatan Ahok menjadi Gubernur
DKI Jakarta, menggantikan Jokowi yang telah menjadi Presiden RI, telah menjadi
momok di mata banyak kaum Islam. Mereka menganggap Ahok tidak layak dan pas
untuk mewakili mayoritas warga DKI Jakarta. Bahkan mereka berusaha, oleh karena
kepentingan politik, mengeluarkan undang-undang untuk menjegal kepemimpinan
Ahok. Sebenarnya upaya itu telah bergema ketika Ahok mendampingi Jokowi pada
pilkada DKI Jakarta tahun 2012. Namun lagi-lagi usaha itu gagal total. Dan kini
Ahok telah menduduki kursi DKI satu.
Aturan tentang pengangkatan itu
sebenarnya telah tertuang dalam Pasal 26 ayat 3 Undang-undang No.12 Tahun 2008.
Dalam Undang-undang tersebut dijelaskan bahwa wakil kepala daerah menggantikan
kepala daerah sampai habis masa jabatannya apabila kepala daerah meninggal
dunia, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama
6 (enam) bulan secara terus-menerus dalam masa jabatannya. Jadi, secara
yuridis, posisi Ahok tidak bisa dipersalahkan karena telah dilandasi oleh
konstitusi sendiri. Dan jika ada upaya untuk menggantikan konstitusi itu dengan
yang lain maka konstitusi sebelumnya telah terbukti salah dan bukan Ahok. Pada
daarnya penolakan pelantikan terhadap Ahok (juga pernah terhadap pasangan
Jokowi-Ahok) oleh FPI tidak konstitusional, dan jika ditilik lebih jauh, bahkan
melanggar mahkamah moral dan nilai kemanusiaan. Undang-Undang Dasar 45 (UUD’45)
secara tematik tidak pernah menciptakan separatisasisi kemanusiaan Indonesia.
Justru UUD’45 memploklamirkan kebebasan warga negara dalam memperoleh ekses
politik, beragama, dan kehidupan yang lebih layak.
Memang, telah dikenal luas, bahwa
Ahok adalah sosok pemimpin yang “keras” dan tegas, tidak pandang bulu,
visioner, kuat, dan kadang-kadang mengeluarkan kosakata bernada tinggi
(marah-marah). Tipe pemimpin yang demikian tentu mengganggu kenyamanan dan
stabilitas tradisi lama. Bahwa pemimpin harus berbuat “baik-baik” terhadap
rakyatnya, mendengar suara rakyat. Namun justru itu yang tidak diperlihatkan
Ahok. Ketika dentangan gong “perang” itu berbunyi, Ahok tidak lagi mendengarkan
apa yang ditentang warganya, sebagaimana terrepresentasi dalam tubuh FPI dan
beberapa ormas garis keras lainnya yang merupakan masyarakat domain DKI Jakarta.
Justru kehadiran Ahok, karena ia berasal dari luar Jawa (Belitung), diyakini
tidak akan merepresentasikan kebutuhan mayoritas warga DKI Jakarta. Ia diklaim
sebagai “musuh” besar Islam (FPI). Oleh mereka (FPI), negeri ini (DKI
khususnya) tidak layak dipimpin oleh orang “kafir”.
Terminologi “musuh” (memang term ini
agak kontroversial dan sangat rawan, maka harus digunakan lebih hati-hati
mengingat dimensi multikultural bangsa) itu bisa kita pahami karena sejak
Indonesia merdeka, roda kepemimpinan negeri ini selalu diduduki oleh kaum mayoritas
(Islam). Adalah kejanggalan jika singgasana Nomor 1 RI “diurapi” kepada kaum
minoritas. Faktum ini bisa saja memicu membengkaknya isu diskriminasi rasial –
karena ia memang keturunan Tionghoa – sebab warga Tionghoa sendiri mempunyai
catatan suram di tanah air tercinta ini. Dulu, ketika era Orde Baru begitu
berkuasa, orang-orang Tionghoa justru diusir, diancam, dijarah, dsb. Terlebih lagi
cerita dan wacana perseteruan antara Ahok vs FPI telah menjadi rekaman buram
yang menggelantung di langit demokratisasi dan keutuhan serta persatuan bangsa
dan tanah air.
Polemik terakhir yang masih
mengenai Ahok adalah perang urat sarafnya dengan DPRD DKI Jakarta. Sebagaimana
diberitakan Suara.com, persoalan
mendasarnya adalah berkaitan dengan pembengkakan APBD DKI Jakarta. Ahok
mempertanyakan dana ‘siluman” sebesar 12,1 triliun yang tiba-tiba muncul dalam
draf APBD. Ahok berkeyakinan bahwa DPRD telah melakukan manipulasi dan
penggelembungan anggaran karena sebelum pihak eksekutif mengajukan (Gubernur) draf
APBD ke Mendagri, pihak DPRD telah mengajukannya terlebih dahulu. Padahal menurutnya,
baik pihak eksekutif maupun legislatif, draf APBD itu bisa dibahas lagi jika
memang Mendagri menemukan kesalahan untuk dikoreksi. Kesalahan itu terletak
pada beberapa hal: lampiran 1A-nya, yakni ringkasan APBD-nya tidak ada, belanja
tidak langsung Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) tidak ada, dan format
serta struktur APBD tidak sesuai dengan PP No 58 tahun 2005 dan Permendagri No
13 tahun 2006. Ahok geram karena ada pihak DPRD yang telah mengajukan surat dan
draf ke Mendagri. Dari pihak DPRD, mereka mengklaim bahwa Pemerintah DKI tidak
meminta izin untuk mengajukan draf tersebut.
Lebih jauh, perseteruan antara Gubernur DKI Jakarta, Ahok, dengan Anggota
DPRD DKI Jakarta soal dugaan “dana siluman” terus berlanjut. Bahkan, kata kasar
pun keluar guna saling serang satu sama lain. Menurut psikolog politik dari
Universitas Indonesia (UI) Dewi Haroen, seperti dilansir dari
Okezone.com, tidak mudah membaca
perseteruan apik itu. Jika murni persoalan anggaran, maka sudah ada mekanisme
dan tata aturan yang mengatur, sehingga tidak mesti diperdebatkan sehingga
tidak menimbulkan hal-hal yang menghambat pembangunan ibukota. Dengan ini ia
mau menekankan bahwa persoalan ini bukan sekedar persoalan anggaran (politik),
tetapi lebih mengacu pada persoalan personal. Kita bisa beranggapan bahwa ini
tentu merupakan “cerita” lain dari kisruh Ahok dengan orang-orang dari kelompok
garis keras (misalnya FPI dan Gerindra). Hampir pasti kita bisa membaca bahwa
masalah yang menimpa perseteruan Ahok dan FPI dan kelompoknya, juga merupakan manuver
politik Gerindra, tentu dengan premis bahwa di kubu DPRD DKI Jakarta ada
orang-orang Gerindra.
Menilik “Posisi” Media dalam Kasus
Ahok
Tidak bisa dimungkiri bahwa kasus
yang menimpa Ahok dalam perseteruannya dengan FPI (dan beberapa pihak lain),
dibaca, didengar dan dilihat melalui pemberitaan media massa dan media sosial. Tanpa
media-media tersebut, mungkin saja orang-orang di luar DKI Jakarta tidak pernah
tahu-menahu, apalagi di wilayah timur Indonesia. Media-media massa dan sosial,
di satu pihak, hadir sebagai “jembatan” yang baik untuk menyalurkan arus
informasi lokal dan global. Namun di sisi lain, media-media itu muncul bagaikan
“momok” yang mampu menciptakan senjata mematikan; ia hadir setajam silet untuk
meruncing suasana kondusif kehidupan masyarakat; ia seperti api dari langit
yang membakar kondisi psikososial manusia, bahkan memporak-porandakan sistem
dan ranah publik. Media, dalam bahasa sederhana, merupakan tampilan dua wajah
kembar. Ia bisa merekonstruksikan, namun ia juga bisa mendestruksikan kehidupan
manusia majemuk.
Sejarah mencatat bahwa modernisasi,
perkembangan sosial dan diferensiasi sosial meupakan edisi yang dibawa keluar
dari luar negara-negara Asia Tenggara. Katakan, kita adalah masyarakat pengkonsumsi
media. Namun, patut dicatat bahwa pengaruh mobilitas sosial yang tinggi,
muncullah sekelompok elit dan dominan yang berusaha untuk memanfaatkan media
tersebut. Oleh orang-orang itu, media diplintir dan dijadikan instrumen
persaingan kekuasaan dan pasar. Yang dominan tampil perkasa dan menguasai media
itu untuk berkuasa dan bertahan. Dalam tatanan politik nasional, juga lokal
sekalipun, banyak parpol, kelompok dari ideologis tertentu, yang menyampaikan
pesan politiknya melalui media-media. Hal itu tentu dengan maksud untuk
membentuk wacana atau opini publik, sekaligus pencitraan politik, dan bahkan
untuk menyerang pihak lain.
Sebut saja beberapa kasus aktual terakhir: pemberitaan “miring” penuh intrik dan
bernuansa SARA yang dilancarkan FPI dan kelompoknya untuk menyerang Ahok. Atau
kampanye hitam (black campaign)
melalui media oleh kubu Prabowo terhadap Jokowi. Dengan begitu gamblang kita
melihat bagaimana media itu sangat sentral dan akrab di bawah bayang-bayang
kelompok dominan. Dengan ini kita mengamini bahwa pemberitaan media massa dan
sosial juga tidak pernah terlepas dari jaring kekuatan politik.
Berkaitan dengan posisi media dalam
siklus kehidupan berdemokrasi dan perpolitikan, penulis bisa memahaminya
demikian: (1) yang dimaksud dengan "posisi media massa" adalah
peranan media, dan (2) (in)toleransi yang menjadi studi sasar, barangkali juga
(in)toleransi dalam arti luas; bukan sekadar menyangkut perbedaan agama, tetapi
perbedaan pikiran, gagasan, sikap, atau pandangan. Namun dalam termin ini penulis
hanya mau menyoal perseteruan Ahok dan FPI sebagai cermin dari bagaimana
persoalan agama itu begitu penting di Indonesia saat ini. Agama bukan sekedar
berada pada ruang privat, tetapi terus diperdebatkan dalam ruang publik.
Dalam kasus Ahok vs FPI, penulis melihat bahwa ranah publik
itu begitu dikuasai oleh media ketika suatu wacana publik terbentuk untuk
menolak Ahok. Penguasaan media oleh jaringan FPI dan kroninya, telah menyulut
emosi massa dan sentimen primordial masyarakat hingga terpecah ke dalam
berbagai kotak. Masyarakat Jakarta, juga Indonesia secara keseluruhan, terhentak,
ketika FPI menyumpahi Ahok dengan berbagai tuduhan: orang kafir-lah, “musuh”, mengancam
kelompok mayoritas, dlsb. FPI, sebagai kelompok dominan, menggunakan media
mengampanyekan tindakan kekerasan dan penolakan ekstrem yang mesti dibuat
terhadap Ahok, seandainya masyarakat DKI mengamini gagasan mereka. Dalam hal
ini, media juga berusaha untuk menciptakan suatu lautan emosi massa untuk
secara radikal menentang Ahok. Posisi media dalam kasus Ahok tidak lagi
memainkan prinsip netralitas, tetapi malah mendukung pembentukan opini publik
untuk menjatuhkan dan menyerang lawan (Ahok). Demokrasi tercabik dan isu
intoleransi menjadi begitu “rentan” untuk dibicarakan.
Mengembalikan Citra Media sebagai
“Pelita” Demokrasi
Media-media di Indonesia hampir
sepanjang sejarah telah berada di bawah naungan beringin kekuasaan, korporasi
dan mayoritas elit. Bagaimana cara untuk mengembalikan kedistorsian media tersebut,
penulis menawarkan satu gagasan jernih, yaitu dengan menciptakan “ruang” di
mana upaya demokratisasi media itu berlangsung tanpa intervensi eksternal.
Sebab, pada ghalibnya, etika jurnalistik telah menggariskan satu hukum etis,
yaitu bahwa media mesti menjadi instrumen kontrol sosial yang independen.
Pertalian media dengan kekuatan politik dan kekuasaan mayoritas adalah sebuah
“kejahatan”.
Ihwal yang dibicarakan, yaitu
mengenai “tantangan media berhadapan dengan kasus intoleransi’, agaknya cukup relevan
untuk didudukkan dalam konteks demokratisasi. Sejatinya, dalam masyarakat
plural (multikultural) seperti Indonesia, sistem demokrasi adalah cara terbaik
dari sekian banyak ideologi terburuk yang pernah ada. “Ruang” yang dimasudkan
penulis adalah demokrasi. Dalam demokrasi, idealnya, kemajemukan pandangan
adalah hal yang baik, bahkan dirayakan. Namun dalam merayakan hal ini,
demokrasi pun memiliki paradoksnya sendiri. Di satu sisi, ia memfasilitasi
pengakomodasian kemajemukan tersebut. Di sisi lain, demokrasi justru ada untuk
memfasilitasi “pertengkarannya”.
Lantaran sebagai sistem, ia ada
justru untuk memelihara perbedaan dan persinggungan antargagasan; hanya saja,
persinggungan itu difasilitasi sedemikian rupa, sehingga mewujud sebagai percakapan
dan perdebatan rasional, bukan lagi “adu pukul”, “saling bunuh”, dan
semacamnya. Dalam semangat ini pula, sebenarnya, media massa mesti mengambil
peran. Di masa kita sekarang, media massa (dan juga media sosial) merupakan salah
satu lokus utama pembentukan ranah publik. Ranah publik sendiri menjadi tempat
di mana setiap orang dipersilakan menyuarakan pandangan dan berupaya
memengaruhi orang lain untuk menyepakati pandangannya.
Lantaran dalam iklim semacam ini
setiap orang dipersilakan berpandangan berbeda, sampai taraf tertentu, setiap
kebenaran lantas nisbi. Dengan demikian, dalam ranah publik, ukuran untuk
menakar suatu pandangan bukan benar-salahnya pandangan tersebut. Yang ditakar
adalah argumentasi dan rasionalisasinya - seberapa meyakinkan orang secara
rasional. Dalam konteks ini, ranah publik, terutama media massa,
kredibilitasnya ditentukan oleh kemampuannya untuk memfasilitasi proses-proses deliberatif,
di mana perbedaan dipercakapkan dan diargumentasikan. Putusan benar-salah atas
sesuatu sama sekali di luar kapasitas ranah publik. Namun saat ini, yang kerap menjadi
masalah adalah kecenderungan media massa kita yang “berposisi” terlebih dahulu
sebelum mengabarkan suatu "fakta". Sudah barang tentu, kecenderungan
demikian menjadikan “fakta” dan “opini” bercampur, “informasi” pun tak sekadar
sarat nilai, tetapi bahkan juga sarat kepentingan. Hal ini “wajar”, karena
agenda dan keperluan pemilik media untuk mengamankan kepentingan mereka memang
telah merembes ke dan mendistorsis proses deliberatif dalam ranah publik.
Dalam situasi di mana ranah publik
mengalami distorsi semacam ini (atau dalam bahasa Mark E. Warren,
“korup”), penulis mengira bahwa salah satu efeknya terjadi di tataran
psikososial, di mana publik perlahan-lahan “diajari” untuk membuat “putusan”
sebelum menimbang secara rasional suatu perkara atau perbedaan pandangan.
Seolah kita semua diajari untuk memutuskan terlebih dahulu sesuatu itu benar
atau salah, baru kemudian mencari tahu tentang duduk perkaranya. Kondisi
psikologis dalam melakukan penilaian semacam ini, pada gilirannya membuat
situasi mental kita “tidak siap” untuk menanggapi yang berbeda secara terbuka,
adil, dan tanpa prasangka.
Media massa akan berperan secara positif dalam menghadapi
fenomena intoleransi, hanya jika fungsi deliberatifnya dipulihkan dari berbagai
macam distorsi. Dalam kasus Ahok vs FPI, media telah ditimpang oleh
kepentingan. Kesadaran internal media sebagai instrumen kontrol mutlak perlu,
dan bukan hadir sebagai “silet” yang meruncing emosi dan opini publik. Dengan
menyalakan “pelita” demokrasi-nya, media akan tampil sebagai “kekuasaan
keempat”, di belakang ‘trias politica”: eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Apalagi kekuasaan legislatif dan yudikatif di Indonesia akhir-akhir ini sedang
mengalami goncangan hebat karena tidak punya lagi kredibilitas.
Jurgen Habermas, dalam teori
“Tindakan Komunikatif” mengatakan, bahwa dalam masyarakat modern, dengan segala
kompleksitas dan kemajemukannya, hanya dapat diintegrasikan melalui tindakan
komunikatif. Tindakan komunikatif sendiri hanya bisa terjadi dalam iklim demokrasi,
di luar itu sebuah universalitas konsesus mesti dipertanyakan. Tindakan
komunikatif adalah tindakan yang mengarahkan diri pada konsensus tanpa privatisasi kebenaran. Artinya,
setiap tindakan menjadi tindakan rasional yang berorientasi kepada kesepahaman,
persetujuan dan rasa saling mengerti. Konsensus semacam itu, bagi Habermas,
hanya dapat dicapai melalui diskursus praktis yang tidak lain adalah prosedur komunikasi.
Diskursus praktis adalah suatu prosedur (cara) masyarakat untuk saling
berkomunikasi secara rasional dengan pemahaman intersubjektif untuk mempersoalkan
klaim ketepatan dari norma-norma yang mengatur tindakan mereka.
Media sebagai wadah yang mengkomunikasikan bahasa kehidupan masyarakat mesti
berjuang untuk menciptakan iklim demokrasi, di mana di dalamnya dirayakan semua
kemajemukan itu: ideologi, gagasan, budaya, tradisi, dan SARA.
Taura Hida, “Jurgen Habermas: Demokrasi
Deliberatif dan Ruang Publik”, dalam Kompasiana.com, diakses
pada 18 April 2015.