Minggu, 31 Mei 2015

Puisi : "Bintang di Keheningan"

Kuberpijak pada angin sepoi malam
berharap ia hembuskan napasmu
yang selalu segar saat kau bisikan kata itu
kala itu, semuanya masih seadanya.

Dingin pekat tiap tetesan embun yang terbawa angin
Meretas tiap jengkal sel tubuhku
kikiskan kisah yang tak lagi berulang
Kau di sana kutatap dalam cermin tak berbayang

Namun, malam ini,...
Di balik tirai kumal ini
Dan serpihan kaca jendela yang makin rapuh
Kuterawang malam dingin itu
Dengan rangkak yang lucu
Kutemukan kau di tingkap keheningan sepoi basa.

tatih-tatih kakiku yang kejang
Memberontak dinginnya malam pembawa hawa 
Namun kau hadir di pikiran bayanganku
bagai bintang yang terperangkap fajar.

Sabtu, 30 Mei 2015

"Mereduksi Hegemoni Politik terhadap Perempuan" ((Membaca Ulang Peran Perempuan dalam Demokrasi Politik) )



Sejarah peradaban manusia, yang terekam sejak periode prasejarah hingga zaman modern, mencatat dengan jernih dan lugas dominasi kekuasaan patriarkat dalam segala dimensi kehidupan manusia, entah itu dalam bidang sosial, politik, ekonomi, hukum, maupun perihal kedudukan harkat dan martabat (HAM) sebagai manusia, bahkan menjalar sampai kepada masalah seksualitas: laki-laki selalu menganggap perempuan sebagai objek pemuasaan kebutuhan seksual.
Dominasi dan otonomitas laki-laki yang melingkupi segala ranah kehidupan ini seolah telah berurat-akar dalam balutan sejarah dan mengandaikan tidak ada lagi pereduksian untuk membaca ulang peran perempuan dengan memperhatikan konvensi nilai keadilan dan prinsip egaliter. Ruang publik yang telah dikonversi oleh budaya patriarkat menjadi keterasingan eksistensial bagi kaum perempuan. Perempuan yang dalam lilitan dan kisah sejarah diperhambakan, semakin terdistorsi, terlempar jauh ke horizon tak rasional oleh tradisi patriarkat yang keruh. Ruang publik perempuan diterjemahkan menjadi ruang privat yang secara eksistensial berdiri otonom, tanpa memengaruhi dan menyentuh sedikit pun sepak terjang laki-laki. Perempuan telah disetubuhi oleh ekstremnya maskulinitas politik.  
 Bangsa Indonesia sejak diproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, menjunjung tinggi prinsip negara demokrasi modern, walaupun masih ada perdebatan sengit dengan kaum fundamentalis perihal demarkasi antara negara dan agama. Kaum fundamentalis mengusung negara-agama (Islam), sementara golongan Nasionalis memperjuangkan negara demokrasi yang menjunjung nilai kebebasan, hak-hak asasi manusia, dan keadilan. Namun kesimpulan final hanya satu: Indonesia adalah negara hukum.
Perdebatan tajam tersebut sebenarnya sedang mereproduksi satu faktum untuk mempertanyakan orientasi strategi demokrasi: sejauh mana demokrasi Indonesia memperjuangkan prinsip-prinsip kebebasan, hak-hak asasi manusia, dan keadilan. Dan bagaimana demokrasi memengaruhi dan menciptakan potensi-potensi politik yang meyakinkan jiwa setiap manusia Indonesia. Deretan pertanyaan ini sebenarnya bertujuan untuk mereduksi beragam kenyataan riil yang tidak bisa dimungkiri saat ini, bahwa Indonesia sedang terjerumus ke dalam praktik diskriminasi secara demokratis-struktural yang melenceng jauh dari cita-cita luhurnya. Demokrasi politik di Indonesia sedang menempatkan idealisme patriarkat ke dalam ruang publik dan men-subordiansi-kan partisipasi kaum perempuan jauh di bawah telapak busuk hegemoni para bandit politik. Semakin jauh penyimpangan praktik demokrasi politik dan peminggiran keterlibatan perempuan dalam ranah politik, meniscayakan meluapnya laut ketidakpercayaan perempuan terhadap sosok laki-laki. Bahwa laki-laki mesti disaingi bahkan dan disetarakan. Itulah cita-cita dan konsep dasar gender dan secara demokratis dianggap layak dan wajar diperjuangkan, walaupun masih menyisakan cerita buruk.
Sejak digaungkannya reformasi demokrasi pada tahun 1998, beriringan dengan lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan ‘seumur hidup’, wajah demokrasi politik di Indonesia sedang memasuki babak baru yang lebih cerah dan tampan. Aspek kebebasan mendapatkan aksentuasi penuh, terutama berkaitan dengan partisipasi politik dan penciptaan kebebasan ruang publik melalui pers. Media-media massa bergerak cepat dan seolah baru sadar dari mimpi buruk yang meliliti mereka selama kurang-lebih tiga dasawarsa. Megawati Soekarno Putri, yang melanjutkan dinasti Soekarno, seolah terbangun dari kubangan untuk memperjuangkan cita-cita demokrasi melalui partai PDIP-nya. Demikian juga terjadi pada partai-partai politik lain yang telah lama terkungkung dan terpenjara sebagai konsekuensi dari praktik pro forma, demokrasi semu ala Soeharto.
Satu hal yang menggelitik penulis adalah terkait kehadiran Megawati, seorang politisi perempuan sekaligus seorang nasionalis-reformis, dalam ranah publik. Kehadiran Megawati sebenarnya sedang merepresentasikan kedudukan figur perempuan secara politis, terlepas dari statusnya sebagai putri presiden Soekarno. Megawati telah mengubah wajah seorang perempuan menjadi lebih bernas dan berjiwa nasionalis dalam memperjuangkan demokrasi politik di bumi pertiwi ini. Terpilihnya sebagai wakil presiden pada masa presiden Gusdur dan sebagai presiden RI ke-5, menggantikan posisi presiden Gusdur, serentak mengafirmasikan peran politik perempuan yang setara dan bermartabat. Keterpilihannya menjadi batu loncatan dan rona baru sejarah demokrasi politik tanah air. Ia seolah hadir sebagai ‘dewi’ yang mampu menyingkap tirai otoritarianisme kaum patriak terhadap perempuan selama berabad-abad. Dulu kita mengenal sosok Kartini yang memperjuangkan emansipasi wanita, terutama dalam hal mendapatkan pendidikan yang setara. Dengan demikian, proses demokratisasi di Indonesia sedang berjalan ke jalur benar, walau masih begitu banyak polemik internal yang meliliti bahtera demokrasi kebangsaan.
Beriringan dengan gaung pengkiprahan Megawati di kancah politik nasional, terhitung sejak Pemilu 2004 dan 2009, ketelibatan figur perempuan menjadi sebuah kemendesakan. Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Parpol dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu menggarisbawahi satu poin penting mengenai keterlibatan perempuan dalam politik. Secara eksplisit disebutkan bahwa kouta keterwakilan perempuan adalah 30%, atau dengan kata lain dalam sebuah parpol terdapat satu orang calon perempuan dari tiga calon laki-laki. Ironinya, yang terjadi sejauh ini adalah politisi perempuan yang duduk di legislatif belum mencapai target kuota tersebut. Fakta ini menafikan satu pertanyaan substansial: mengapa calon perempuan begitu sulit menembus tiket untuk duduk di kursi legislatif maupun pemimpin? Apakah perempuan adalah orang-orang lemah, tak berkuasa, dan mesti kehilangan hak-hak sosial di tengah gencarnya perjuangan gender dan penyetaraan akses sosial? Bukankah produk undang-undang ini secara implisit telah mengkerdilkan ruang partisipasi perempuan dan mendiskreditkan peran perempuan sendiri? Bahwa perempuan dalam hal apapun tidak pernah bisa menyamakan diri dengan laki-laki. Perempuan tetap diberi kesempatan untuk berdiri di bilik yang sempit dan terpenjara oleh kodratnya sendiri.
Data yang diperoleh dari KPU (dilansir dari Sindonews.com) menyebutkan bahwa total DPT Pemilu 2014 adalah 186.612.255 pemilih, yang terdiri dari 93.439.610 pemilih laki-laki, dan 93.172.645 pemilih perempuan. Sepintas data ini memperlihatkan dengan jernih bahwa pemilih perempuan dan laki-laki hampir seimbang. Menyelisik fakta diskriminasi hak politik kita saat ini, penulis menyimpulkan bahwa perempuan Indonesia telah diracuni oleh jiwa maskulinitas politik. Mengapa? Karena penulis berasumsi bahwa bisa saja kaum perempuan menyatukan suara untuk memilih calon-calon perempuan, jika mereka telah sadar dan memahami prinsip egaliter sebagaimana diperjuangkan selama ini. Dengan demikian, pada Pemilu Legislatif 2014 ini, kuota keterwakilan perempuan mencapai target. Atau setidak-tidaknya menghasilkan politisi perempuan yang benar-benar perempuan, dan bukan berjiwa maskulin. Megawati yang akan bertarung dalam Pemilu Presiden nanti secara otomatis merebut takhta kepresidenan jika perempuan sadar akan eksistensi keterasingan mereka dalam kancah perpolitikan selama ini. Lalu, apa yang menyebabkan kedudukan perempuan demikian terpolarisasi dalam sejarah demokrasi?
Hemat penulis, minimnya porsi keterlibatan perempuan dalam politik sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari diskriminasi konstitusional kaum laki-laki yang memproduksi undang-undang sekedar memikat emosi kaum perempuan atau yang berbias gender.  Padahal dari relaitas yang terjadi, penulis berasumsi bahwa politik Indonesia yang didominasi dan dimonopoli oleh laki-laki, pada dasarnya merupakan bentuk stereotip ekstrim terhadap perempuan: bahwa perempuan sedari kodratnya tetaplah orang nomor dua, tidak bisa membuat sesuatu yang melebihi laki-laki. Perempuan, secara seksualitas telah diciptakan dari rusuk laki-laki sehingga bagaimanapun mereka tetap berperan sampingan. Tubuh perempuan dengan  sendirinya telah menegaskan derajat dan martabatnya. Politik yang sejauh peradaban telah menjadi milik kaum laki-laki, tidak pernah bisa direduksi menjadi bagian dari peran perempuan. Inilah deretan diskriminasi total terhadap perempuan sejauh analisis penulis selama ini dan mesti diperangi secara tuntas.
Pembacaan ulang terhadap peran dan kedudukan perempuan di kancah perpolitikan Indonesia saat ini setidaknya akan mengubah wajah perempuan Indonesia, sekaligus wajah demokrasi patrilineal untuk kembali kepada jalur yang benar; jalur konsepsi demokrasi. Bahwa proses demokratisasi tidak pernah membenarkan dominasi dan monopoli kepentingan kelompok tertentu, apalagi oleh laki-laki. Sebab, baik laki-laki maupun perempuan, mereka telah diciptakan dari ‘nefes’ yang sama. Keduanya bukan lagi dua, melainkan satu.



Opini: "MENYALAKAN “PELITA” DI ATAS “LANGIT BURAM” (KASUS) PENOLAKAN AHOK OLEH FPI




                                                                
Indonesia merupakan negeri dengan jumlah penduduk bermayoritaskan Islam terbanyak pertama di dunia. Realitas faktual ini tidak bisa dimungkiri lagi. Dari seluruh penduduk yang menghuni negeri ini, sekitar 90-an% beragama Islam, sedangkan sisanya dibagi ke dalam beberapa agama besar lainnya, seperti Kristen, Hindu, Buddha Konghucu, serta keyakinan dan aliran kepercayaan lain dengan porsentase yang jauh di bawah lima persen.
Lebih jauh menilik negeri ini, tampak juga bahwa Indonesia adalah negeri dengan tingkat pluralitas yang tinggi. Pluralisme agama, budaya, tradisi, bahasa, ideologi suku, dan filosofi yang dimiliki oleh segenap manusia Indonesia merupakan realitas yang tak terelakan lagi. Namun di sisi lain, secara eviden kita bisa membaca bahwa dalam keberagaman itu Indonesia menyimpan sebuah “mutiara yang terpendam”, negeri yang kaya-raya, karena mengandung, selain kekayaan alam-bumi, dari rahim pertiwi ini lahirlah manusia-manusia yang mampu memengaruhi dunia, yang wawasan dan derajat intelektualitasnya patut diacungi. Indonesia juga adalah sebuah realitas di mana manusia-manusianya amat menjaga tradisi ketimuran, menjunjung tinggi semangat nasionalisme dan demokrasi.
Realitas kemajemukan itupun begitu gamblang tampil dan merambah dalam berbagai pentas sosial dan politik. Di sana argumentasi-argumentasi terus diperdebatkan tanpa akhir yang pasti. Misalkan saja isu mengenai negara Islam yang sejak awal kemerdekaan mulai diproklamasikan oleh beberapa tokoh radikal Islam. Dan sejauh ini, isu itu hanya menemui jalan terjal. Sebab bahkan di kalangan Islam moderat sendiri, ide tentang berdirinya negara Islam ditentang karena tidak relevan dengan konteks pluralitas di Indonesia. Sebagai konsekuensi logisnya, isu pertautan dan intervensi agama dalam politik terus membengkak di mana-mana, mulai dari lokal sampai pada skala nasional.
Sejarah mencatat bahwa sistem sosial-politik (demokrasi) yang dianut Indonesia, sejauh ini, masih sangat kentara dinahkodai oleh berbagai kepentingan macam-macam: agama, suku, ideologi kelompok tertentu, budaya, dll. Tidak jarang terjadi di berbagai pelosok negeri “seribu khayangan” ini, realitas kekerasan, ancaman, pertikaian, dan penganiayaan atas nama kepentingan-kepentingan seperti telah tersebut di atas, terutama agama. Tentu masih hangat dalam memori kita, kisruh kronis antara Basuki Cahaya Purnama (Ahok) berhadapan dengan Front Pembela Islam (FPI) akhir-akhir ini. Melalui pemberitaan media massa, baik media cetak, elektronik, maupun digital, konflik bermotifkan agama ini bahkan menjadi trending topic. Begitu getolnya media massa meramaikan publik Indonesia dengan informasi aktualnya, sampai-sampai mereka melupakan kode etik jurnalistik yang menekankan objektivitas pemberitaan, dan bukan pemenuhan dahaga massa (baca: pasar) atau profit. Sejuk.com, sebuah LSM yang peduli akan kekayaan keberagaman Indonesia, mencoba mengangkat tema workshop-nya kali ini: “Tantangan Media Massa dalam Kasus Intoleransi”. Sebuah pertanyaan muncul: apakah prospek media-media di Indonesia saat ini bernaung di bawah kecenderungan fundamentalisme agama dan tradisi  serta dominasi budaya mayoritas tertentu?
“Langit Buram” Kisruh Agamis Ahok vs FPI[1]
Menelisik polemik berkepanjangan antara Ahok dan FPI sebagaimana terjadi hampir setahun terakhir, bumi Indonesia seperti ikut bergeming, karena, selain memang “perang dingin” itu merusak citra langit politik Indonesia, persoalan itupun bisa melahirkan guncangan hebat bagi rasa solidaritas dan toleransi antar agama yang begitu majemuk. Selain itu, kasus ini bisa berujung pada ketegangan dan sentimen primordial SARA serta ketakutan akut kaum minoritas di negeri ini. Inilah tesis dasar penulis ketika membaca kasus yang menimpa Ahok. Bahwa Ahok, tokoh politik berwawasan nasionalisme, yang merupakan penganut setia agama Kristen (Protestan), menjadi bulan-bulanan FPI, yang merupakan sebuah kelompok gerakan Islam sayap kiri. Ia dicerca, dihina, diteror dan dikecam bukan karena latar politik yang diperankannya, tetapi lebih karena status agama (non-Islam) yang dianutnya. Memang sejak dahulu sekali, konflik bermotifkan agama telah membumi di Indonesia. Namun dalam kasus Ahok, narasi itu seakan terungkit lagi, dan bahkan lebih kejam dari yang pernah dipikirkan. Bisa dibayangkan bagaimana Ahok, seorang diri, membendung hadangan keras dari FPI, termasuk juga beberapa anggota DPRD DKI Jakarta. Tekanan berwajah ganda: muatan politis dan agamis sekaligus, oleh Ahok, hanya dibalas dengan ketaatan kepada sebuah “Hukum” yang melampaui norma lahiriah yang ada.
Apakah memang kaum minoritas tidak bisa memimpin bangsa ini? Itulah pertanyaan substansial yang dilontarkan segelintir golongan “minoritas bisu” di negeri ini ketika dibentangkan sebuah poster keburaman citra politik dan meredupnya semangat nasionalisme oleh para mayoritas elit.
Pengangkatan Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta, menggantikan Jokowi yang telah menjadi Presiden RI, telah menjadi momok di mata banyak kaum Islam. Mereka menganggap Ahok tidak layak dan pas untuk mewakili mayoritas warga DKI Jakarta. Bahkan mereka berusaha, oleh karena kepentingan politik, mengeluarkan undang-undang untuk menjegal kepemimpinan Ahok. Sebenarnya upaya itu telah bergema ketika Ahok mendampingi Jokowi pada pilkada DKI Jakarta tahun 2012. Namun lagi-lagi usaha itu gagal total. Dan kini Ahok telah menduduki kursi DKI satu.
Aturan tentang pengangkatan itu sebenarnya telah tertuang dalam Pasal 26 ayat 3 Undang-undang No.12 Tahun 2008. Dalam Undang-undang tersebut dijelaskan bahwa wakil kepala daerah menggantikan kepala daerah sampai habis masa jabatannya apabila kepala daerah meninggal dunia, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus-menerus dalam masa jabatannya. Jadi, secara yuridis, posisi Ahok tidak bisa dipersalahkan karena telah dilandasi oleh konstitusi sendiri. Dan jika ada upaya untuk menggantikan konstitusi itu dengan yang lain maka konstitusi sebelumnya telah terbukti salah dan bukan Ahok. Pada daarnya penolakan pelantikan terhadap Ahok (juga pernah terhadap pasangan Jokowi-Ahok) oleh FPI tidak konstitusional, dan jika ditilik lebih jauh, bahkan melanggar mahkamah moral dan nilai kemanusiaan. Undang-Undang Dasar 45 (UUD’45) secara tematik tidak pernah menciptakan separatisasisi kemanusiaan Indonesia. Justru UUD’45 memploklamirkan kebebasan warga negara dalam memperoleh ekses politik, beragama, dan kehidupan yang lebih layak.
Memang, telah dikenal luas, bahwa Ahok adalah sosok pemimpin yang “keras” dan tegas, tidak pandang bulu, visioner, kuat, dan kadang-kadang mengeluarkan kosakata bernada tinggi (marah-marah). Tipe pemimpin yang demikian tentu mengganggu kenyamanan dan stabilitas tradisi lama. Bahwa pemimpin harus berbuat “baik-baik” terhadap rakyatnya, mendengar suara rakyat. Namun justru itu yang tidak diperlihatkan Ahok. Ketika dentangan gong “perang” itu berbunyi, Ahok tidak lagi mendengarkan apa yang ditentang warganya, sebagaimana terrepresentasi dalam tubuh FPI dan beberapa ormas garis keras lainnya yang merupakan masyarakat domain DKI Jakarta. Justru kehadiran Ahok, karena ia berasal dari luar Jawa (Belitung), diyakini tidak akan merepresentasikan kebutuhan mayoritas warga DKI Jakarta. Ia diklaim sebagai “musuh” besar Islam (FPI). Oleh mereka (FPI), negeri ini (DKI khususnya) tidak layak dipimpin oleh orang “kafir”.
Terminologi “musuh” (memang term ini agak kontroversial dan sangat rawan, maka harus digunakan lebih hati-hati mengingat dimensi multikultural bangsa) itu bisa kita pahami karena sejak Indonesia merdeka, roda kepemimpinan negeri ini selalu diduduki oleh kaum mayoritas (Islam). Adalah kejanggalan jika singgasana Nomor 1 RI “diurapi” kepada kaum minoritas. Faktum ini bisa saja memicu membengkaknya isu diskriminasi rasial – karena ia memang keturunan Tionghoa – sebab warga Tionghoa sendiri mempunyai catatan suram di tanah air tercinta ini. Dulu, ketika era Orde Baru begitu berkuasa, orang-orang Tionghoa justru diusir, diancam, dijarah, dsb. Terlebih lagi cerita dan wacana perseteruan antara Ahok vs FPI telah menjadi rekaman buram yang menggelantung di langit demokratisasi dan keutuhan serta persatuan bangsa dan tanah air.
Polemik terakhir yang masih mengenai Ahok adalah perang urat sarafnya dengan DPRD DKI Jakarta. Sebagaimana diberitakan Suara.com, persoalan mendasarnya adalah berkaitan dengan pembengkakan APBD DKI Jakarta. Ahok mempertanyakan dana ‘siluman” sebesar 12,1 triliun yang tiba-tiba muncul dalam draf APBD. Ahok berkeyakinan bahwa DPRD telah melakukan manipulasi dan penggelembungan anggaran karena sebelum pihak eksekutif mengajukan (Gubernur) draf APBD ke Mendagri, pihak DPRD telah mengajukannya terlebih dahulu. Padahal menurutnya, baik pihak eksekutif maupun legislatif, draf APBD itu bisa dibahas lagi jika memang Mendagri menemukan kesalahan untuk dikoreksi. Kesalahan itu terletak pada beberapa hal: lampiran 1A-nya, yakni ringkasan APBD-nya tidak ada, belanja tidak langsung Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) tidak ada, dan format serta struktur APBD tidak sesuai dengan PP No 58 tahun 2005 dan Permendagri No 13 tahun 2006. Ahok geram karena ada pihak DPRD yang telah mengajukan surat dan draf ke Mendagri. Dari pihak DPRD, mereka mengklaim bahwa Pemerintah DKI tidak meminta izin untuk mengajukan draf tersebut.
Lebih jauh, perseteruan antara Gubernur DKI Jakarta, Ahok, dengan Anggota DPRD DKI Jakarta soal dugaan “dana siluman” terus berlanjut. Bahkan, kata kasar pun keluar guna saling serang satu sama lain. Menurut psikolog politik dari Universitas Indonesia (UI) Dewi Haroen, seperti dilansir dari Okezone.com, tidak mudah membaca perseteruan apik itu. Jika murni persoalan anggaran, maka sudah ada mekanisme dan tata aturan yang mengatur, sehingga tidak mesti diperdebatkan sehingga tidak menimbulkan hal-hal yang menghambat pembangunan ibukota. Dengan ini ia mau menekankan bahwa persoalan ini bukan sekedar persoalan anggaran (politik), tetapi lebih mengacu pada persoalan personal. Kita bisa beranggapan bahwa ini tentu merupakan “cerita” lain dari kisruh Ahok dengan orang-orang dari kelompok garis keras (misalnya FPI dan Gerindra). Hampir pasti kita bisa membaca bahwa masalah yang menimpa perseteruan Ahok dan FPI dan kelompoknya, juga merupakan manuver politik Gerindra, tentu dengan premis bahwa di kubu DPRD DKI Jakarta ada orang-orang Gerindra.[2]
Menilik “Posisi” Media dalam Kasus Ahok
Tidak bisa dimungkiri bahwa kasus yang menimpa Ahok dalam perseteruannya dengan FPI (dan beberapa pihak lain), dibaca, didengar dan dilihat melalui pemberitaan media massa dan media sosial. Tanpa media-media tersebut, mungkin saja orang-orang di luar DKI Jakarta tidak pernah tahu-menahu, apalagi di wilayah timur Indonesia. Media-media massa dan sosial, di satu pihak, hadir sebagai “jembatan” yang baik untuk menyalurkan arus informasi lokal dan global. Namun di sisi lain, media-media itu muncul bagaikan “momok” yang mampu menciptakan senjata mematikan; ia hadir setajam silet untuk meruncing suasana kondusif kehidupan masyarakat; ia seperti api dari langit yang membakar kondisi psikososial manusia, bahkan memporak-porandakan sistem dan ranah publik. Media, dalam bahasa sederhana, merupakan tampilan dua wajah kembar. Ia bisa merekonstruksikan, namun ia juga bisa mendestruksikan kehidupan manusia majemuk.
Sejarah mencatat bahwa modernisasi, perkembangan sosial dan diferensiasi sosial meupakan edisi yang dibawa keluar dari luar negara-negara Asia Tenggara. Katakan, kita adalah masyarakat pengkonsumsi media. Namun, patut dicatat bahwa pengaruh mobilitas sosial yang tinggi, muncullah sekelompok elit dan dominan yang berusaha untuk memanfaatkan media tersebut. Oleh orang-orang itu, media diplintir dan dijadikan instrumen persaingan kekuasaan dan pasar. Yang dominan tampil perkasa dan menguasai media itu untuk berkuasa dan bertahan. Dalam tatanan politik nasional, juga lokal sekalipun, banyak parpol, kelompok dari ideologis tertentu, yang menyampaikan pesan politiknya melalui media-media. Hal itu tentu dengan maksud untuk membentuk wacana atau opini publik, sekaligus pencitraan politik, dan bahkan untuk menyerang pihak lain.[3] Sebut saja beberapa kasus aktual terakhir: pemberitaan “miring” penuh intrik dan bernuansa SARA yang dilancarkan FPI dan kelompoknya untuk menyerang Ahok. Atau kampanye hitam (black campaign) melalui media oleh kubu Prabowo terhadap Jokowi. Dengan begitu gamblang kita melihat bagaimana media itu sangat sentral dan akrab di bawah bayang-bayang kelompok dominan. Dengan ini kita mengamini bahwa pemberitaan media massa dan sosial juga tidak pernah terlepas dari jaring kekuatan politik.
Berkaitan dengan posisi media dalam siklus kehidupan berdemokrasi dan perpolitikan, penulis bisa memahaminya demikian: (1) yang dimaksud dengan "posisi media massa" adalah peranan media, dan (2) (in)toleransi yang menjadi studi sasar, barangkali juga (in)toleransi dalam arti luas; bukan sekadar menyangkut perbedaan agama, tetapi perbedaan pikiran, gagasan, sikap, atau pandangan. Namun dalam termin ini penulis hanya mau menyoal perseteruan Ahok dan FPI sebagai cermin dari bagaimana persoalan agama itu begitu penting di Indonesia saat ini. Agama bukan sekedar berada pada ruang privat, tetapi terus diperdebatkan dalam ruang publik.
Dalam kasus Ahok vs FPI, penulis melihat bahwa ranah publik itu begitu dikuasai oleh media ketika suatu wacana publik terbentuk untuk menolak Ahok. Penguasaan media oleh jaringan FPI dan kroninya, telah menyulut emosi massa dan sentimen primordial masyarakat hingga terpecah ke dalam berbagai kotak. Masyarakat Jakarta, juga Indonesia secara keseluruhan, terhentak, ketika FPI menyumpahi Ahok dengan berbagai tuduhan: orang kafir-lah, “musuh”, mengancam kelompok mayoritas, dlsb. FPI, sebagai kelompok dominan, menggunakan media mengampanyekan tindakan kekerasan dan penolakan ekstrem yang mesti dibuat terhadap Ahok, seandainya masyarakat DKI mengamini gagasan mereka. Dalam hal ini, media juga berusaha untuk menciptakan suatu lautan emosi massa untuk secara radikal menentang Ahok. Posisi media dalam kasus Ahok tidak lagi memainkan prinsip netralitas, tetapi malah mendukung pembentukan opini publik untuk menjatuhkan dan menyerang lawan (Ahok). Demokrasi tercabik dan isu intoleransi menjadi begitu “rentan” untuk dibicarakan.[4]
Mengembalikan Citra Media sebagai “Pelita” Demokrasi
Media-media di Indonesia hampir sepanjang sejarah telah berada di bawah naungan beringin kekuasaan, korporasi dan mayoritas elit. Bagaimana cara untuk mengembalikan kedistorsian media tersebut, penulis menawarkan satu gagasan jernih, yaitu dengan menciptakan “ruang” di mana upaya demokratisasi media itu berlangsung tanpa intervensi eksternal. Sebab, pada ghalibnya, etika jurnalistik telah menggariskan satu hukum etis, yaitu bahwa media mesti menjadi instrumen kontrol sosial yang independen. Pertalian media dengan kekuatan politik dan kekuasaan mayoritas adalah sebuah “kejahatan”.
Ihwal yang dibicarakan, yaitu mengenai “tantangan media berhadapan dengan kasus intoleransi’, agaknya cukup relevan untuk didudukkan dalam konteks demokratisasi. Sejatinya, dalam masyarakat plural (multikultural) seperti Indonesia, sistem demokrasi adalah cara terbaik dari sekian banyak ideologi terburuk yang pernah ada. “Ruang” yang dimasudkan penulis adalah demokrasi. Dalam demokrasi, idealnya, kemajemukan pandangan adalah hal yang baik, bahkan dirayakan. Namun dalam merayakan hal ini, demokrasi pun memiliki paradoksnya sendiri. Di satu sisi, ia memfasilitasi pengakomodasian kemajemukan tersebut. Di sisi lain, demokrasi justru ada untuk memfasilitasi “pertengkarannya”.
Lantaran sebagai sistem, ia ada justru untuk memelihara perbedaan dan persinggungan antargagasan; hanya saja, persinggungan itu difasilitasi sedemikian rupa, sehingga mewujud sebagai percakapan dan perdebatan rasional, bukan lagi “adu pukul”, “saling bunuh”, dan semacamnya. Dalam semangat ini pula, sebenarnya, media massa mesti mengambil peran. Di masa kita sekarang, media massa (dan juga media sosial) merupakan salah satu lokus utama pembentukan ranah publik. Ranah publik sendiri menjadi tempat di mana setiap orang dipersilakan menyuarakan pandangan dan berupaya memengaruhi orang lain untuk menyepakati pandangannya.
Lantaran dalam iklim semacam ini setiap orang dipersilakan berpandangan berbeda, sampai taraf tertentu, setiap kebenaran lantas nisbi. Dengan demikian, dalam ranah publik, ukuran untuk menakar suatu pandangan bukan benar-salahnya pandangan tersebut. Yang ditakar adalah argumentasi dan rasionalisasinya - seberapa meyakinkan orang secara rasional. Dalam konteks ini, ranah publik, terutama media massa, kredibilitasnya ditentukan oleh kemampuannya untuk memfasilitasi proses-proses deliberatif, di mana perbedaan dipercakapkan dan diargumentasikan. Putusan benar-salah atas sesuatu sama sekali di luar kapasitas ranah publik. Namun saat ini, yang kerap menjadi masalah adalah kecenderungan media massa kita yang “berposisi” terlebih dahulu sebelum mengabarkan suatu "fakta". Sudah barang tentu, kecenderungan demikian menjadikan “fakta” dan “opini” bercampur, “informasi” pun tak sekadar sarat nilai, tetapi bahkan juga sarat kepentingan. Hal ini “wajar”, karena agenda dan keperluan pemilik media untuk mengamankan kepentingan mereka memang telah merembes ke dan mendistorsis proses deliberatif dalam ranah publik.
Dalam situasi di mana ranah publik mengalami distorsi semacam ini (atau dalam bahasa Mark E. Warren[5], “korup”), penulis mengira bahwa salah satu efeknya terjadi di tataran psikososial, di mana publik perlahan-lahan “diajari” untuk membuat “putusan” sebelum menimbang secara rasional suatu perkara atau perbedaan pandangan. Seolah kita semua diajari untuk memutuskan terlebih dahulu sesuatu itu benar atau salah, baru kemudian mencari tahu tentang duduk perkaranya. Kondisi psikologis dalam melakukan penilaian semacam ini, pada gilirannya membuat situasi mental kita “tidak siap” untuk menanggapi yang berbeda secara terbuka, adil, dan tanpa prasangka.
Media massa akan berperan secara positif dalam menghadapi fenomena intoleransi, hanya jika fungsi deliberatifnya dipulihkan dari berbagai macam distorsi. Dalam kasus Ahok vs FPI, media telah ditimpang oleh kepentingan. Kesadaran internal media sebagai instrumen kontrol mutlak perlu, dan bukan hadir sebagai “silet” yang meruncing emosi dan opini publik. Dengan menyalakan “pelita” demokrasi-nya, media akan tampil sebagai “kekuasaan keempat”, di belakang ‘trias politica”: eksekutif, legislatif dan yudikatif. Apalagi kekuasaan legislatif dan yudikatif di Indonesia akhir-akhir ini sedang mengalami goncangan hebat karena tidak punya lagi kredibilitas.
Jurgen Habermas, dalam teori “Tindakan Komunikatif” mengatakan, bahwa dalam masyarakat modern, dengan segala kompleksitas dan kemajemukannya, hanya dapat diintegrasikan melalui tindakan komunikatif. Tindakan komunikatif sendiri hanya bisa terjadi dalam iklim demokrasi, di luar itu sebuah universalitas konsesus mesti dipertanyakan. Tindakan komunikatif adalah tindakan yang mengarahkan diri pada konsensus tanpa privatisasi kebenaran. Artinya, setiap tindakan menjadi tindakan rasional yang berorientasi kepada kesepahaman, persetujuan dan rasa saling mengerti. Konsensus semacam itu, bagi Habermas, hanya dapat dicapai melalui diskursus praktis yang tidak lain adalah prosedur komunikasi. Diskursus praktis adalah suatu prosedur (cara) masyarakat untuk saling berkomunikasi secara rasional dengan pemahaman intersubjektif untuk mempersoalkan klaim ketepatan dari norma-norma yang mengatur tindakan mereka.[6] Media sebagai wadah yang mengkomunikasikan bahasa kehidupan masyarakat mesti berjuang untuk menciptakan iklim demokrasi, di mana di dalamnya dirayakan semua kemajemukan itu: ideologi, gagasan, budaya, tradisi, dan SARA.


       [1] Disadur dari situs Idjoel.com. Diakses pada 18 April 2015.
       [2] Persoalan yang menimpa Ahok dengan beberapa kelompok sayap kiri Islam (FPI dan ranting-rantingnya) dan DPRD DKI Jakarta bisa dibaca lebih lanjut di berbagai media cetak, eletronik maupun digital dalam beberapa bulan terakhir. Data-data penulis sadur, selain dari Idjoel.com, penulis juga mengambilnya di  Kompas.com, Okezone.com dan Suara.com. Diakses pada 18 April 2015.
       [3] Eduardus Dosi, Media Massa dalam Jaring Kekuasaan (Maumere: Penerbit Ledalero, Cet. I, 2012), hlm. 189-190.
       [4] Wawancara dengan Muhammad Damm melalui email pada 19 April 2015.
       [5] Mark E. Warren (kelahiran Amerika) mengajarkan teori politik di University of British Columbia, di mana ia memegang Ketua Harold dan Dorrie Merilees Studi Demokrasi. Dia sangat tertarik pada hubungan antara bentuk-bentuk baru dari partisipasi warga dan perwakilan demokrasi, demokrasi deliberatif, masyarakat sipil dan demokrasi, dan korupsi politik. Warren adalah penulis Demokrasi dan Asosiasi (Princeton University Press, 2001), yang memenangkan Elaine dan David Spitz Book Prize diberikan oleh Konferensi Studi Pemikiran Politik, serta 2003 Posisi Book Award dari Asosiasi untuk Penelitian Nirlaba Organisasi dan Aksi sukarela. Dia adalah co-pendiri Participedia (www.participedia.net).
       [6] Taura Hida, “Jurgen Habermas: Demokrasi Deliberatif dan Ruang Publik”, dalam Kompasiana.com, diakses pada 18 April 2015.

Opini: "Menggugat Demokrasi Pilkada"



MENGGUGAT PILKADA
(Sebuah Catatan Kritis)
Oleh: Dennis Deha
Mahasiswa STFK Ledalero

Fenomena praktik Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada/Pilkada) akhir-akhir ini banyak menuai kritikan pedas sekaligus rasa pesimistis atau semacam gugatan dalam pikiran masyarakat: apakah Pilkada masih layak dipertahankan dan diperjuangkan ataukah mesti dikubur dari bumi pertiwi ini. Apakah Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah mesti ditinjau kembali? Hemat penulis, pertayaan ini bukan sekedar suatu sentilan, tetapi lebih jauh dari pada itu, pertanyaan ini makin mengafirmasikan ke-quo vadis-an praktik demokrasi bangsa ini khususnya dalam lingkaran kecil yang disebut dengan Pemilukada atau Pilkada. Banyak kenyataan yang tidak diinginkan, yang menyimpang jauh dari regulasi dan tatanan moral kemanusiaan (dehumanisasi) sebagaimana masyarakat awam dan segenap insan politik bangsa harapkan. Bahwa praktik demokrasi kebangsaan sejauh ini masih seperti “kelinci percobaan” dan lebih banyak mencuatkan konflik internal maupun eksternal bangsa. Apalagi di tengah ketidakdewasaan bangsa dalam urusan politik, pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung justru menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja. Didukung dengan tabiat tidak mau kalah, menghalalkan segala cara untuk menang dan sebagainya, bukannya perwujudan demokrasi yang ditemui, malah kerusuhan dan perselisihan yang tidak jelas ujung pangkalnya, dan tentu saja konflik horizontal antar pendukung menjadi suatu keniscayaan.
Kita bisa menoleh sebentar ke belakang fakta yang sementara ini sedang hangat dibicarakan di media massa, khususnya di bumi Flobamora tercinta. Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur NTT periode 2013-2018 putaran II tahun ini menuai kisruh yang cukup besar, di mana ada pihak-pihak tertentu yang tidak mau kalah. Dalam bingkai yang lebih besar, menurut sebuah sumber disebutkan bahwa dari 246 Pemilukada yang diselenggarakan di Indonesia hingga Oktober 2010 (belum terhitung dari tahun 2011-2013), hanya di 38 daerah yang tidak terjadi kisruh dan memasukkan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi. Ini membuktikan bahwa sebagian besar calon kepala daerah dan wakilnya tidak bisa menerima kekalahan dengan lapang dada. Perilaku elit politik seperti ini telah menjadi pakem di setiap pilkada. Hampir pasti jika ada pilkada, maka akan ada permohonan ke Mahkamah Konstitusi. Kenyataan ini tentu dapat menimbulkan apatisme (masa bodoh) dan berakarnya prinsip minus malum sebagian masyarakat terhadap politik. Berkembangnya prinsip minus malum lahir dari pandangan masyarakat yang menganggap bahwa pesta demokrasi pilkada, ada dan tidaknya, hasilnya sama saja. Pergantian kepemimpinan dari periode waktu yang satu ke periode waktu berikut sepertinya tetap berjalan di tempat. Masyarakat belum mencicipi dampak positif dari setiap perhelatan pilkada itu. Masyarakat seolah-olah dimanfaatkan. Perubahan itu belum nyata.
Ini hanya sampel kecil yang kalau direfleksikan dalam bingkai demokrasi mesti dipertanyakan lagi: apakah memang ini yang diharapkan dari paham demokrasi yang diperjuangkan oleh pendahulu republik ini. Apakah paham demokrasi tidak semestinya digugat kembali? Ataukah kita mesti menciptakan suatu tenggang waktu di mana kita tidak melaksanakan praktik demokrasi apapun. Artinya kita mesti diam sejenak dan mencari jawaban tentang konsep dasar ketatanegaraan yang baru. Mungkinkah saja semacam tirani?
Seorang filsuf besar, Plato (427-347), pernah menyangsikan pelaksanaan ketatanegaraan dengan konsep negara idealnya. Kesangsian Plato bukannya tidak beralasan. Situasi politik Athena waktu itu yang semrawut (perang) dan memicu banyak keresahan warga negara. Ada persaingan keras antar warga negara untuk menduduki posisi elit dalam polis. Sementara yang lain seolah-olah menjadi sampah dari persaingan itu. Namun pada dasarnya Plato mengatakan bahwa konsep negara demokrasi adalah konsep yang ideal untuk sebuah pemerintahan dan ketatanegaraan di samping ada begitu banyak imbas dan dampak buruk yang tidak juga kecil. Tetapi pada saat yang sama Plato seolah-olah menyangsikan konsepnya tersebut. Ia mengatakan bahwa bisa saja terjadi di suatu saat di mana ada seseorang yang ingin menguasai orang lain dengan segala kekuatan dan strategi-strategi tertentu. Dengan demikian muncullah suatu sistem baru yang disebut dengan konsep negara tirani. Konsep ini akan berujung pada praktik kediktatoran dan totalitarianisme dalam sebuah tataran negara dan kepemerintahan.
Menelisik pelaksanaan demokrasi dalam Pilkada di negara kita tercinta ini, penulis bisa mengatakan bahwa saat ini sedang terjadi adanya usaha orang-orang (pribadi/kelompok) tertentu untuk menciptakan sistem tirani di bumi kita ini. Usaha tersebut mungkin saja kurang nampak karena ia masih terselubung di antara selaput tipis kepentingan tiap-tiap elit politik. Tetapi dari kenyataan riil selama ini telah mengindikasikan dengan jelas adanya praktik ke arah tersebut. Praktik politik uang (money politics), politik kepentingan, politik membuat iklan, politik pencitraan diri yang berlebihan telah dan sedang mengaburkan sekaligus merongrong sistem demokrasi dan mentunaskan sistem tirani modern yang kelihatan beda tipis dengan paham demokrasi. Pilkada seolah-olah menjadi peluang emas untuk meraup keuntungan dan melambungnya  nama pribadi. Bahkan itensi dasar calon pemimpin dalam setiap pilkada hanya berorientasi pada  usaha untuk “mencari nama”. Ini yang menjadi keprihatinan bersama. Politik (pemimpin) dijadikan sebagai kendaraan untuk menambah trayek dan deretan curriculum vitae yang panjang. Kepentingan masyarakat marginal diabaikan, proyek pembangunan terbengkalai dan menyusupnya wajah KKN dalam berbagai bidang. Kacamata tebal mesti kita pakai agar jelas menilai perbedaan itu. Jika tidak, kita (masyarakat awam) dibutakan lalu menegaskan bahwa praktik itu legal dan itulah demokrasi yang sebenarnya. Kesimpulannya, praktik demokrasi kita saat ini diibaratkan seperti “menjual obat”. Para elit politik hadir sebagai penjualnya sedangkan masyarakat ada sebagai penonton sambil mengangguk-angguk apa yang “dikampanyekan” oleh penjual obat. Sebagai penjual obat, ia tentu memiliki retorika kalimat yang baik, elegan, berwibawa  dan tentu mengandung nilai estetis sehingga bisa menarik massa (masyarakat).
Kita tidak bisa menampik fakta penyimpangan nilai-nilai demokrasi dalam pilkada. Namun di balik banyak kisah suram itu ada segelintir politisi yang memang tahu apa arti memperjuangkan kepentingan rakyat. Dalam beberapa pilkada hadir tokoh-tokoh yang membawa angin segar dan sedikit-banyak perubahan dalam masyarakat. Sebut saja Walikota Solo Jokowi yang saat ini menjadi gubernur DKI Jakarta. Tetapi apakah keteladanan Jokowi telah “memerahkan” telinga para pemimpin bangsa dan daerah kita? Artinya, dengan sistem dan cara kerja yang diciptakan Jokowi, apakah ada pemimpin yang merasa diri bahwa “saya belum berbuat sesuatu bagi masyarakat saya?” Atau adakah calon pemimpin yang saat ini maju dalam Pilkada merasa diri “omong doang” dan mungkin tidak bisa berbuat apa-apa jika terpilih nanti?
Salah satu aspek yang menjadi titik perhatian penulis di sini adalah mengenai “kepincangan” sistem dalam tata pemerintahan kita saat ini. Manajemen sistem yang dibangun Jokowi ketika masih menjabat sebagai walikota Solo adalah perbaikan sistem birokrasi yang rumit. Beliau mengatakan bahwa segala urusan dalam hubungan pemerintah dengan masyarakat selalu bermasalah jika sistem yang dibangun itu menyulitkan rakyat. Program yang digelontorkan  seorang pemimpin boleh dikatakan menyentuh rakyat, tetapi jika sistem birokrasi “amburadul” maka program-program itu dengan sendirinya tidak pernah dirasakan masyarakat. Sebaliknya, aspirasi dan kebutuhan masyarakat tidak akan bisa dimediasikan ke pemerintah (pimpinan) jika sistem yang sama dikonstelasikan. Kekakuan dan kerumitan sistem yang kebanyakan terjadi saat ini seolah-olah merepresikan sekaligus mematikan jembatan masyarakat untuk berhubungan dan berurusan dengan pemerintah. Oleh karena itu, pemimpin harus turun ke bawah (turba) dan mengenal lebih dekat kebutuhan masyarakat. Sebab tata pemerintah yang baik adalah pemerintahan yang bottom up, dari bawah naik ke atas.
Persoalan ini mesti mencapai titik terang. Kerja sama dan sikap saling percaya harus kita tanamkan dalam diri setiap insan pemimpin (elit politik) maupun masyarakat. Kesalingpercayaan itu termaktub dalam sikap keterbukaan, kejujuran dan partisipatif-representatif yang seluas-luasnya. Masyarakat mesti terlibat aktif di dalam system yang dibangun. Demokrasi pers merupakan wadah sekaligus corong yang tepat untuk menyuarakan kata-kata yang selama ini tercekat dalam kerongkongan akibat pembungkaman yang dilakukan oleh pemimpin  dan penguasa yang totaliter dan tiranian. Penyimpangan ke arah tiranian mungkin saja belum bisa direduksi kembali, tetapi kesediaan hati calon pemimpin dan pemimpin untuk berubah dan berbuah baik merupakan sesuatu yang urgen. Mungkin saja penulis dalam tataran ini bernada pesimis, tetapi apa yang akan kita lakukan demi kebaikan bersama (bonum communae) daerah dan bangsa kita, membangkitkan semangat optimisme segenap anak bangsa bahwa pencapaian apa yang baik itu berawal dari niat untuk berubah.
Praktik penyimpangan mungkin saja akan terus berlanjut, tetapi alangkah baiknya kita menginjak pedal rem untuk mengurangi dan mematikan laju pertumbuhan konsep tirani (atau oligarkhis) dalam diri para elit politik, pemimpin dan calon pemimpin. Sudah saatnya kita bangkit dengan secercah harapan yang tersisa dari kekaburan praktik demokrasi pilkada menuju kegemerlapan visi pemimpin bangsa dan daerah yang bersih, jujur, adil dan terpercaya.